Pada suatu pagi

Aimee menyusun kue-kue di dalam jar cantik ke dalam rak. Kemudian ia menata cupcakes yang sudah dihias dengan sangat menarik ke dalam lemari display. Roti-roti yang masih hangat pun disusunnya dengan rapi.

Tiba-tiba pintu bakery bergemerincing ketika dibuka. Seorang pelanggan masuk. Ia adalah seorang kakek dengan memakai tongkat dan mengempit koran di ketiaknya. Aimee menyapanya.

“Selamat pagi,” sambut Aimee ramah. Kakek itu tidak membalas sapaannya. Ia hanya melihat ke sekeliling ruangan. Aimee membiarkan laki-laki tua itu melihat-lihat kue. Ia terbiasa melayani pelanggan yang paling unik sekalipun.

Setelah melihat-lihat kakek itu berjalan menuju konter tempat Aimee berdiri. Waktu itu masih pagi sekali kira-kira pukul enam dan para pelayan toko yang bekerja untuk Aimee belum datang. Aimee memang selalu datang ke bakery miliknya lebih pagi. Ia sangat menyukai saat-saat dimana ia harus memajang kue dan roti buatannya sendiri.

“Tidak ada yang spesial di bakery ini,” ucap laki-laki tua itu. Aimee mengerutkan keningnya. Apa maksud perkataan kakek tua itu. Ia tersinggung mendengarnya. Sudah lima tahun ia menjalani usaha toko roti kecil-kecilan ini dan selama ini belum pernah ada yang mengatakan demikian kepadanya.

“Apa yang kau cari sebenarnya, Pak Tua?” tanya Aimee dengan sopan. Ia berusaha untuk menahan dirinya agar tidak marah.

“Adakah rasa yang lain? Roti-roti yang kau jual tidak ada yang spesial. Keju, coklat, coklat pisang, abon, kelapa, sosis, kismis. Ini sudah biasa. Aku mencari sesuatu yang beda,” ucap kakek itu dengan nada sedikit angkuh.

“Misalnya?” tanya Aimee.

“Kacang hitam misalnya…”

Aimee menahan tawa. Kacang hitam sebenarnya adalah kacang hijau yang kalau sudah diolah berubah warna menjadi hitam.  Kacang hitam biasa dipakai sebagai isian bapao dan bukan roti. Ah, kakek tua ini sudah pikun.

“Pak, kacang hitam itu biasa dipakai sebagai isian bapao dan bukan roti,” ujar Aimee lembut.

“Aku tahu! Kau tidak perlu mengajariku,” kata kakek itu dengan nada tinggi. Tetapi sedetik kemudian wajah tegasnya melembut. Aimee melihat genangan air mata di pelupuk matanya.

“Kalau istriku bisa, kau pun harus bisa Anak muda,” kata kakek itu. Aimee tidak mengerti maksud dari perkataan kakek itu.

“Maaf, apa maksudmu?” tanya Aimee.

“Istriku selalu membuatkanku roti dengan isi kacang hitam sebab ia tahu itu kesukaanku. Aku pencinta roti dan kacang hitam. Dan ia selalu membuatkanku roti kacang hitam meskipun itu bukan sesuatu yang biasa. Ibuku dulu suka membuatkannya untukku. Dan kemudian ketika ibuku meninggal, istriku melanjutkannya. Membuatkan roti isi kacang hitam untukku.” Air mata menetes di pipinya. Aimee menunggu dengan sabar apa yang ingin dikatakan kakek itu selanjutnya. Ia memberikan selembar tisu untuk laki-laki tua itu.

“Istriku tidak pernah menyukai kacang hitam. Tapi ia selalu membuatkannya untukku dan kami menyantapnya bersama selama lima puluh tahun sampai akhirnya ia jatuh cinta kepada kacang hitam. Ia bahkan menyukainya lebih daripada aku sendiri.  Tapi sekarang aku tidak akan pernah bisa makan roti isi kacang hitam lagi…” ujar kakek itu sambil terisak.

“Mengapa, Pak?” tanya Aimee penasaran.

“Ia didiagnosa menderita dimentia sebulan yang lalu. Ia tidak bisa ingat apa-apa lagi. Bahkan ia tidak bisa mengingatku. Aku sedih. Dan pagi ini aku datang ke toko rotimu untuk mencari roti isi kacang hitam. Aku ingin membawakannya untuk istriku. Aku tahu ia tidak akan pernah mungkin mengingatku dan mengingat apa yang kami sukai. Tapi paling tidak aku ingin mengembalikan senyumnya,” ujar kakek itu sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya yang sudah sangat keriput.

Aimee mendengar cerita kakek itu dengan penuh perhatian. Ia membayangkan betapa baiknya hati istri si kakek. Bayangkan! Selama lima puluh tahun makan roti isi kacang hitam padahal ia tidak menyukainya. Ia melakukan itu demi suaminya.

Kemudian Aimee memutar otak mencari cara untuk membantu sang kakek.

“Pak, apa roti kesukaan istrimu sebelum ia menyukai kacang hitam?” tanya Aimee.

“Hmmm…biasa. Tidak ada yang spesial…”

“Tapi Pak, tidak bisakah Bapak sekali saja memberikan sesuatu yang benar-benar disukai oleh istrimu? Yeah…setelah selama lima puluh tahun ia harus memakan sesuatu yang ia tidak pernah suka,” kata Aimee. Wajah kakek itu memerah. Ia terlihat tidak menyukai perkataan Aimee tadi.

“Ia menyukainya. Sangat!”

“Ia terpaksa menyukainya demi cintanya padamu, Pak Tua,” ujar Aimee tak mau kalah. Mendengar itu si kakek terdiam dan berpikir.

Kakek itu menghela napas panjang. Kemudian ia berkata,” Kau benar, Anak Muda. Selama ini aku terlalu mementingkan diri sendiri. Aku tidak pernah mau peduli dengan apa yang dia suka.”

“Jadi apa yang istrimu suka, Pak?” tanya Aimee.

“Ah…hanya roti coklat…”

“Pak Tua, belajarlah untuk menghargai apa yang disukai oleh istrimu meskipun itu hanya sekedar roti coklat,” kata Aimee.

“Nak, aku kagum denganmu. Tidak salah aku mengunjungi toko rotimu. Aku belajar darimu tentang pengorbanan. Jadi selama ini istriku telah banyak berkorban untukku.”

“Nah, Pak Tua, sekarang maukah Bapak berkorban untuk istrimu? Menyukai apa yang disukai oleh istrimu?” tanya Aimee. Kakek itu mengangguk dengan semangat.

Aimee mengambil sebuah kotak kecil dan memasukkan dua potong roti coklat ke dalamnya.

“Pulanglah Pak Tua, istrimu menunggu,” kata Aimee sambil menyodorkan kantong berisi kotak roti. Ia juga menolak untuk menerima bayaran dari kakek itu.

“Terima kasih banyak, Nak. Besok dan seterusnya aku akan kembali ke sini untuk membeli roti coklat kesukaan istriku. Tapi kau harus mau dibayar ya,” kata kakek itu dengan gembira. Aimee mengangguk.

Hari itu Aimee bersyukur telah diberi pelajaran berharga dari Tuhan. Ia belajar untuk mencintai dengan tulus walaupun butuh pengorbanan yang besar. Bayangkan! Lima puluh tahun makan roti isi kacang hitam. Sungguh Aimee tidak dapat membayangkannya. Ia bersyukur suaminya tidak menyukai roti isi kacang hitam.

The Geese (Para Angsa)

Marlene buru-buru pulang ke rumah setelah mendapat telepon bahwa mamanya datang untuk merayakan Natal bersama. Biasanya mama lebih suka merayakan Natal di rumahnya sendiri dan kami anak-anaknya yang mengunjunginya. Sepeninggal papa tahun lalu sekalipun tidak membuatnya ingin tinggal di rumah salah satu anaknya. Bagi Marlene itu lebih baik. Bukannya ia tidak sayang kepada mama namun di antara kedua kakak perempuannya, Marlene lebih sering berbeda pendapat dengan mama. Kedua kakak perempuannya lebih penurut dibandingkan dirinya. Ia tidak menyukai kebiasaan mama yang suka mengatur ini dan itu. Ribet…Jadi sewaktu mama menelepon bahwa ia ada di rumahnya, Marlene mengerang. Kacau.

Marlene membuka pintu rumah. Ia mendapati rumahnya rapi. Tidak ada mainan yang berserakan di lantai. Ia mendengar tawa dari dapur. Itu pasti mama dan Josh, anaknya yang baru berumur empat tahun.

Mata Marlene menyapu seisi ruangan. Ruangan sudah dihias dengan dekorasi Natal. Namun itu tidak sesuai dengan keinginan Marlene. Rupanya mama membawa seluruh hiasan Natalnya dan menghias rumah Marlene dengan gayanya. Marlene adalah seorang wanita yang simpel. Ia tidak begitu menyukai banyak pernak-pernik di rumahnya. Apalagi enam ekor angsa yang diletakkan di atas meja kopinya. Dari kecil ia benci angsa karena pengalaman buruknya dengan binatang itu. Tapi dulu Marlene tidak bisa protes ketika mama meletakkan pajangan angsa yang terbuat dari kayu dengan motif Natal itu di atas piano. Dan kini angsa-angsa jelek dari ukuran terbesar sampai terkecil itu ada di rumahnya. Di atas meja kopi kesayangannya!

Marlene masuk ke dalam dapur. Mama mendongak. Ia tersenyum. Wajah cantiknya sudah dipenuhi dengan banyak kerutan. Ia terlihat letih. Tidak seperti biasanya. Tapi ia terlihat bahagia. Ia sedang membentuk adonan kue. Josh berdiri di sebelahnya sambil menjilati adonan.

“Jangan Josh! Kamu tidak boleh menjilati adonan!” bentak Marlene. Mama dan Josh terkejut mendengar suara Marlene.

“Tidak apa-apa, Lin. Kamu dulu juga suka menjilati adonan,” ujar mama dengan tenang.

“Itu dulu, Ma. Sekarang aku tahu bahwa itu tidak boleh. Adonan itu masih belum matang.”

“Ah kamu itu terlalu berlebihan. Buktinya kamu sehat sampai sekarang,” kata mama santai.

“Ma! Josh itu anakku. Aku punya cara sendiri bagaimana mendidik dan mengurusnya. Dan…dan…bawa pergi angsa-angsa itu dari rumahku!” Dada Marlene turun-naik menahan emosi. Air matanya tumpah. Ia berlari meninggalkan dapur.

Mama tertunduk. Ia merasa sedih. Sejak dulu ia dan Marlene selalu berbeda pendapat. Apa yang dibuatnya selalu salah di mata Marlene. Mama menyelesaikan membuat kuenya. Ia memasukkan loyang berisi adonan ke dalam oven.

Aroma kue yang sedang dipanggang menyebar ke seluruh ruangan. Marlene menciumnya dari kamarnya. Ia selalu menyukai aroma kue yang dipanggang mamanya. Tapi ia sedang kesal dengan mama. Ia malas bertemu dengannya.

Teo membangunkan Marlene. Rupanya ia tertidur. Jam menunjukkan pukul delapan malam.

“Mana mama?” tanya Teo. Marlene duduk di atas tempat tidur dengan wajah bingung.

“Maksudmu?” tanya Marlene kepada suaminya.

“Katanya mama datang. Tapi aku cari-cari kok gak ada. Josh tadi bilang katanya oma pulang ke rumah,” kata Teo. Marlene menarik napas.

“Aku tadi kesal sama mama. Sebenarnya aku gak boleh bersikap seperti itu. Dan bukan maksudku meminta mama pulang.  Tapi sudahlah. Biar mama mengerti kalau aku berbeda dengannya,” kata Marlene. Ia turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Matanya dengan cepat diarahkan menuju meja kopi. Syukurlah angsa-angsa itu sudah tidak ada lagi. Kemudian ia melihat ada beberapa toples kue keju kegemarannya di atas meja makan. Josh sedang mencemilnya.

“Kue keju oma enakkkk…”

Marlene tersenyum.

“Lin, menurutku kau harus menelepon mama,” kata Teo.

“Iya nanti. Aku mau mandi dulu.” Marlene berjalan menuju kamar mandi ketika telepon berbunyi.

“Halo…” Teo menjawab telepon itu. Tiba-tiba wajahnya menegang. Marlene jadi cemas melihatnya. Ia tidak sabar menunggu sampai Teo mengakhiri pembicaraan.

“Ada apa?” tanya Marlene.

“Mama…”

“Mama kenapa?” Jantung Marlene berdegup kencang.

“Mama jatuh di kamar mandi. Sekarang koma…”

********************************

Marlene menatap nisan mama dengan pandangan nanar. Hatinya perih. Sejuta penyesalan menghantui dirinya. Air mata terus bercucuran membasahi wajahnya. Tapi semua sudah terlambat. Mama sudah pergi.

Toples-toples berisi kue keju kesukaan Marlene merupakan kenangan terakhir dari mama. Kue-kue bahkan angsa-angsa itu menjadi begitu berharga sejak kepergian mama.

Marlene memeluk angsa-angsa itu erat. Ia merasa ada kasih mama yang ia rasakan saat itu. Dan terngiang di telinganya mama menyanyikan lagu Twelve days of Christmas sambil meletakkan angsa-angsa itu di atas piano seperti yang selalu dilakukannya.

“On the sixth day of Christmas my true love sent to me six geese…”

Let His Will Be Done

Pasangan muda itu duduk berhadapan. Mereka saling menatap dengan penuh kasih. Tangan mereka pun saling menggenggam. Ada perasaan hangat tiap kali melihat mereka. Sang wanita dengan setia mengatur bantal untuk sang pria supaya ia bisa duduk dengan nyaman. Selesai menyantap sarapan pagi mereka akan meninggalkan ruang makan rumah sakit dan kemudian duduk-duduk sejenak di taman sebelum kembali masuk ke ruangan.

Aku mengenal pasangan itu ketika aku ditugaskan untuk menjadi dokter jaga. Suatu malam aku mendapatkan panggilan ke kamar tempat laki-laki itu dirawat. Istrinya memanggilku karena tiba-tiba sang suami mengalami rasa sakit yang begitu hebat. Ia terus mengerang kesakitan sehingga aku terpaksa menyuntikkan obat penghilang rasa sakit dengan dosis tinggi. Sejak saat itu hubungan kami menjadi dekat. Aku selalu menyempatkan diri berkunjung ke kamar perawatan untuk sekedar menyapa. Aku menyukai mereka. Mereka membuat malam-malam piketku terasa tidak lagi memberatkan.

Mereka adalah pasangan muda yang baru menikah dua tahun. Sang suami adalah seorang Trainer di sebuah perusahaan besar. Tak heran bila ia selalu bersikap positif.  Namun kemudian ia didiagnosis mengidap penyakit yang cukup serius.  Mereka berharap keajaiban. Berharap mujizat meskipun rasanya mustahil. Tapi mereka tidak putus asa. Mereka tidak mengeluh dan menyalahkan Tuhan.

Aku tak habis pikir mengapa orang-orang sebaik mereka harus mengalami masalah berat seperti itu.  Mereka setia dan taat kepada Tuhan.

Aku tak akan pernah melupakan saat dimana kami bertiga duduk di taman rumah sakit sambil membicarakan kehidupan. Sang istri berkata begini,”Aku tidak pernah menyesal menikah dengan laki-laki di sampingku ini meskipun begini keadaannya. Aku percaya Tuhan punya rencana besar bagi kami. Aku percaya rencana Tuhan tidak berhenti sampai di sini. Asal kita tetap setia dan percaya kepadaNya.”

Perkataan wanita itu terus terngiang di telingaku. Aku teringat istriku di rumah. Ia menderita karena ulahku yang merasa kecewa dengan apa yang kami alami. Aku menyalahkan Tuhan. Aku bertanya mengapa Dia mengizinkan ini semua terjadi. Aku masih belum bisa menerima vonis dokter terhadap istriku bahwa ia tidak akan pernah bisa memiliki anak. Namun sejak aku bertemu Michael dan Tiara, aku mulai belajar untuk menerima rencana Tuhan di hidup kami. Aku percaya Tuhan memiliki rencana yang lebih indah bagi kami. Anak bukanlah satu-satunya alasan kami dapat hidup lebih bahagia.

Sore itu dengan langkah ringan aku memasuki rumah sakit tempat aku bertugas. Aku bergegas menuju ruang perawatan tempat pasien favoritku dirawat. Tapi ternyata ruangan itu telah kosong! Oh…kemana mereka? Apakah…

“Di mana pasien bernama Michael dirawat?” tanyaku kepada suster yang berjaga sore itu.

“Oh…Michael Jaya? Dia meninggal pagi tadi. Jenazahnya ada di rumah duka rumah sakit ini sekarang,” jawab suster. Aku terhenyak di kursi. Tapi aku tidak berani bertanya kepada Tuhan mengapa Ia memanggil orang baik itu begitu cepat. Aku belajar untuk berdiam diri. Setelah perasaanku tenang, aku bergegas pergi menuju rumah duka yang berada di belakang rumah sakit.

Tiara, sang istri, duduk di samping peti jenazah. Wajahnya berduka tetapi ia begitu tenang. Ia menyambutku dengan hangat.

“Dia sudah gak kesakitan lagi, Dok,” ujar Tiara sambil tersenyum. Ia memandangi wajah pucat suaminya yang terbujur kaku di dalam peti.

“Maaf atas kehilanganmu…” kataku lirih. Wanita tegar itu mengangguk. Air mata menetes di pipinya.

“Saya kehilangan. Tapi saya tahu Tuhan pasti sanggup menghibur saya,” kata Tiara dengan suara bergetar.

“Ya itu pasti.  Dan seperti katamu rencana Tuhan tidak berhenti sampai di sini,” kataku. Tiara mengangguk mantap.

“Tahukah kau bahwa hidup kalian sudah memberkati saya? Untuk menobatkan saya Tuhan perlu mengirim kalian. Tuhan sudah memakai hidup kalian untuk menyadarkan saya. Kadang Tuhan memakai masalah untuk menyadarkan kita. Andai suamimu tidak pernah sakit, mungkin kita tidak pernah bertemu. Seandainya pun kita bertemu aku tidak akan pernah belajar dari masalah kalian. Aku berhutang banyak kepada kalian.  Terima kasih.”

Aku menjabat erat tangan Tiara dan memberikan kalimat penghiburan sekali lagi. Aku mengucapkan selamat jalan kepada sahabat baruku, Michael, dan bersyukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukan kami.

Aku meninggalkan ruangan itu dan kembali ke tempat tugasku. Hembusan angin sore yang dingin membuat hatiku terasa pedih. Kehilangan itu memang menyakitkan. Tapi aku belajar untuk menerima apapun rencana Tuhan terutama di hidupku. Biarlah kehendakNya dinyatakan di hidupku.

 

The Gift

Avery merasa kesal sepanjang hari. Ia melempar setumpuk laporan ke atas meja kerjanya. Bagaimana mungkin ia dapat bekerja dengan baik kalau urusan yang satu ini belum selesai. Untuk sebagian orang mungkin hal ini bukan masalah. Tapi bagi Avery ini masalah.

Wanita yang berprofesi sebagai Sales Director itu sibuk menelepon ke sana ke mari. Semua menolaknya dengan alasan sudah tidak menerima pesanan lagi. Itulah yang membuat kepala Avery berdenyut sepanjang hari. Ia sudah mencoba minum secangkir kopi yang biasanya ampuh menyembuhkan denyut di kepalanya. Tetapi sekali ini tidak bisa.

“Aku akan mencoba untuk yang terakhir kali. Kalau tidak bisa juga terpaksa aku harus hunting di butik-butik terkenal yang hanya menyediakan limited edition,” ujar Avery dalam hati. Kemudian dengan lincah Avery menekan tombol-tombol di pesawat teleponnya.

“Avena Boutique.”

“Ya, halo Avena Boutique. Apakah Anda masih menerima pesanan?” tanya Avery dengan penuh harap.

“Untuk kapan?” tanya wanita di seberang sana.

“Natal.”

” Wah maaf kalau untuk Natal kami sudah penuh. Sudah sejak akhir Oktober kami menutup pesanan untuk Natal,” kata wanita itu dengan menyesal.

Avery tersenyum kecut. Ia sudah menduganya. Ia mengucapkan terima kasih dan mematikan telepon. Ia menarik napas panjang. Udara memenuhi rongga dadanya sampai penuh.

Dengan sigap Avery mengambil sebuah majalah wanita edisi terbaru. Ia ingin melihat koleksi butik terkenal di kota itu. Ia membolak-balik majalah tetapi tidak menemukan satu pun yang cocok. Ia mulai cemas. Ia tidak dapat membayangkan apa jadinya Natal tanpa baju baru. Ini sudah tradisi. Sejak kecil orang tuanya sudah menanamkan kebiasaan ini.

Avery memejamkan matanya. Ia membayangkan dirinya yang adalah anggota paduan suara gereja berdiri di barisan depan tanpa busana Natal yang baru. It’s gonna be a nightmare!

Interkom di mejanya berbunyi. Suara Managing Directornya terdengar. Avery mengerang. Bosnya meminta dia untuk menghadiri meeting. Budgeting meeting memang melelahkan. Ia ingin kabur. Tapi itu tidak mungkin.

Meeting itu menyita waktu Avery. Setelah selesai ia cepat-cepat membereskan meja kerjanya dan menyambar tasnya. Sekarang baru pukul tujuh tiga puluh malam. Ia masih memiliki cukup waktu mengunjungi mal tempat butik ternama itu berada.

Mobil sedan putih Avery melaju keluar area parkir gedung kantor tempatnya bekerja. Rupanya karena hujan baru berhenti, jalan raya malam itu macet. Macet total. Tidak bergerak sama sekali.

” What a day, what a day,” gerutu Avery sambil memukul setir mobil. Benar-benar hari yang buruk.

Dua jam melawan macet menguras habis tenaga Avery. Perutnya keroncongan. Satu-satunya restoran yang masih buka adalah restoran cepat saji 24 jam. Ia tidak punya pilihan. Sebenarnya ia tidak terlalu suka makan makanan cepat saji. Tapi apa boleh buat. Maka masuklah Avery ke dalam restoran. Udara dingin yang dihasilkan mesin pendingin menyergap tubuh wanita itu. Ia merapatkan jaket kulit coklatnya.

“Cheese burger, french fries dan air mineral,” kata Avery. Setelah selesai membayar pesanannya ia pun membawa nampannya menuju ke sebuah tempat duduk yang berada di pojok ruangan.

Avery menikmati makanannya. Pada saat itu masuklah seorang gadis muda berusia kira-kira dua puluh tahun ke dalam restoran itu. Ia mengenakan mantel tipis berwarna hijau muda. Mantel itu melapisi seragam kerjanya yang berwarna hitam. Ia merapatkan mantelnya. Bibirnya terlihat gemetar kedinginan.

Gadis itu memesan makanan. Kemudian ia mengambil dompetnya yang sudah lusuh. Ia mengorek-ngorek isi dompetnya. Kemudian diambilnya beberapa uang kertas, menghitungnya dan meletakkannya di atas meja kasir. Rupanya uangnya kurang. Ia merogoh kantong jinsnya dan mengeluarkan dua lembar uang ribuan yang sudah lusuh. Setelah membayar ia membawa nampannya dan mengambil tempat tak jauh dari tempat di mana Avery duduk. Gadis itu duduk menghadap ke luar.

Avery memerhatikan gadis itu. Gadis itu membuka bungkusan burgernya. Namun kemudian ia berhenti. Ia membungkus kembali burger itu. Ia mengambil tas kerjanya yang berwarna coklat dan mengenakannya kembali. Ia mengambil bungkusan burger dan minumannya. Setelah itu ia keluar dari restoran. Avery menatap kepergian gadis itu. Ia melihat gadis itu berjalan menghampiri seorang tuna wisma yang duduk di trotoar. Gadis itu menunduk dan memberikan bungkusan burger dan minumannya. Avery terkejut melihat apa yang dilakukan gadis itu. Ia tidak habis pikir. Setelah dengan susah payah ia berusaha menbayar makanannya, sekarang ia memberikannya begitu saja kepada orang yang tidak dikenalnya.

Tuna wisma itu menganggukkan kepalanya berkali-kali sebagai tanda ucapan terima kasih. Gadis itu menepuk pundak ibu tuna wisma itu lalu pergi.

“Aku belum pernah melihat hal ini sebelumnya. Betapa mulianya hati gadis itu. Dari keterbatasannya ia sanggup memberi,” pikir Avery. Hatinya tersentuh. Buru-buru Avery keluar dari restoran untuk mengejar gadis itu.

“Mba, Mba tunggu!” panggil Avery. Gadis bermantel hijau tipis itu menoleh.

“Ada apa?” tanya gadis itu bingung. Avery berdiri berhadapan dengan gadis itu.

” Maaf saya membuatmu bingung. Saya begitu tersentuh melihat apa yang kamu lakukan untuk ibu tuna wisma itu tadi. Kamu memberikan makananmu kepadanya. Padahal pastinya kau lapar kan…”

Gadis itu tersenyum. “Saya memang lapar sehabis bekerja. Tapi paling tidak saya masih memiliki tempat untuk berteduh. Tetapi ibu itu tidak. Ia tidak memiliki baik makanan maupun tempat tinggal. Jadi ketika saya memberinya makanan, paling tidak malam ini ibu itu memiliki sesuatu untuk mengisi perutnya,” ujar gadis itu. Perkataannya membuat Avery terharu. Seumur hidupnya sampai usianya tiga puluh tiga tahun ia tidak pernah memberi seperti gadis itu memberi. Ia memang suka memberi sama seperti kedua orang tuanya. Tetapi mereka suka memberi untuk orang-orang yang mereka tahu pasti dapat membalas pemberian mereka. Ia belum pernah memberi untuk orang-orang yang tidak bisa membalas pemberiannya. Ia selalu memberi dengan pamrih. Pun ketika ia memberi donasi untuk gereja. Ia akan menuliskan namanya besar-besar di amplop persembahan.

“Siapa namamu?” tanya Avery.

“Susan.”

“Susan, hatimu begitu mulia. Saya sangat kagum kepadamu,” ujar Avery tulus. Ia melepaskan jaket kulit yang dibelinya di luar negeri. Kemudian ia memberikannya kepada Susan.

“Ini untukmu. Mantelmu terlalu tipis. Tidak bisa melindungi tubuhmu dari hawa dingin. Sekarang musim hujan,” kata Avery. Gadis itu melongo. Jaket kulit itu begitu bagus. Gajinya sebagai seorang petugas di loket parkir tidak akan cukup untuk dapat membeli jaket sebagus itu. Tapi Susan menolak pemberian itu.

“Jangan Mba, jaket ini terlalu bagus untuk saya.”

Avery memaksa gadis itu untuk menerima pemberiannya. Akhirnya gadis itu pun menerimanya. Ia mengucapkan terima kasih.

“Susan, terima kasih untuk pelajaran berharga yang kamu berikan malam ini. Saya belajar tentang memberi dengan benar. Seharusnya saya tidak perlu kesal sepanjang hari ini hanya karena saya tidak memiliki baju baru untuk Natal nanti. Seharusnya saya belajar untuk memberi ketimbang menyenangkan diri saya sendiri. Karena memang itulah makna Natal sesungguhnya. Kasih. Kasih itu memberi bukan menerima. Kasih itu bukan untuk menyenangkan diri sendiri.”

Avery mengucapkan selamat tinggal. Ia pun pulang dengan hati yang lebih ringan dan sukacita. Ia baru menyadari ternyata memberi tanpa mengharapkan imbalan lebih membahagiakan. Ia sungguh belajar banyak hari itu. Ia teringat akan perkataan Tuhan tentang memberi. Ketika kita memberi untuk orang yang tidak mampu berarti kita sudah memberi untuk Tuhan. Itulah makna Natal. Kasih yang memberi bukan menerima.

 

 

BUNGA CINTA UNTUK ANGELA

Angela panik.  Sebentar lagi Natal tapi ia belum memiliki baju dan sepatu baru.  Apartemennya pun belum dihias.  Rak penyimpanan makanan belum terisi dengan toples-toples berisi kue kering mahal buatan bakery ternama.  Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh gadis itu.  Ia belum pernah mengalami kepanikan menjelang Natal seperti ini.  Ia menggerutu.  Dan parahnya ia lupa kalau menjelang Natal ini ia tidak memiliki pacar!  Astaga!  Bagaimana mungkin ia bisa sampai lupa.  Biasanya beberapa bulan menjelang Desember ia sudah mulai menebar pesona untuk mendapatkan pacar dari kalangan atas.  Aneh…ya memang aneh.  Angela hanya membutuhkan pacar yang tajir menjelang Natal.  Untuk apa?  Tentu saja untuk membelikan hadiah-hadiah bagus dan mengajaknya dinner Malam Natal di hotel berbintang lima.  Syukur-syukur bertahan sampai ulang tahunnya.  Sebenarnya Angela mampu membeli barang-barang bagus atau hanya sekedar makan malam di hotel berbintang.  Tapi…kalau semua itu bisa didapatnya dengan cuma-cuma kenapa tidak.

Buru-buru disambarnya cardigan biru muda bermerek, tote bag keluaran rumah mode terkenal berwarna navy blue dan menyelipkan kakinya di sepatu slip on yang lagi ngetren berwarna merah pemberian Aldo pada Natal tahun lalu.  Kalau dipikir-pikir dari sekian banyak pacar Natalnya, Aldo memang yang paling murah hati.  Angela sempat berpikir untuk mempertahankannya sampai suatu hari ia memutuskan Aldo bukanlah pilihan yang tepat karena ia menolak memberikan hadiah ulang tahun berupa tas bermerek yang harganya mencapai puluhan juta itu.  Padahal seharusnya Aldo tahu dan mengerti bahwa Angela penggila tas bermerek.  Ia merasa sakit hati.  Sakitnya lebih sakit ketimbang dikhianati.

Setelah memoles wajahnya tipis dengan bedak Angela mengambil kunci mobilnya.  Ia ingin mengunjungi sahabatnya, Jane, yang selalu bisa menenangkan hatinya ketika ia panik seperti ini.  Jane adalah sahabatnya sejak lama.  Sepuluh tahun?  Lebih.  Lima belas tahun?  Lebih.  Dua puluh tahun?  Ya, dua puluh tahun.  Mereka bersahabat sejak usia mereka baru enam tahun.

Sudah lama Angela tidak bertemu Jane sejak sahabatnya itu menikah tahun lalu.  Ia menikah dengan seorang pemuda yang tidak akan pernah masuk hitungan Angela.  Tidak akan pernah.  Bayangkan, pemuda itu hanyalah seorang staf pemasaran produk rumah tangga yang gajinya belum tentu cukup untuk membeli sebuah tas bermerek termurah sekalipun.  Angela sempat mencuci otak Jane.  Ia cemas akan kehidupan Jane di masa yang akan datang kalau menikah dengan Mario sebab Angela tahu pasti selera Jane.  Mereka berdua, Jane dan Angela, dibesarkan di keluarga berada yang berlimpah materi.  Mereka selalu mengenakan barang-barang bermerek.  Tidak pernah tidak.  Jadi, sewaktu Jane mengenalkan Mario kepadanya, Angela hampir pingsan.  Well, wajah Mario memang ganteng tapi penampilannya sangat biasa.  Dari atas sampai bawah.

“Aku mencintai Mario karena kesederhanaannya, La.  Dia juga sopan.  Mama dan papa gak masalah kok aku menikah dengannya,” ujar Jane ketika Angela protes akan pilihan sahabatnya itu.

“Dear, mama dan papamu memang gak keberatan kamu menikah dengan Mario.  Tapi aku keberatan!  Aku khawatir dia gak bisa membahagiakanmu, Jane,” kata Angela.  Matanya sudah berkaca-kaca.

“La, selama ini aku merasa kita sudah salah jalan.  Kita pikir uang bisa memberikan kebahagiaan.  Ternyata itu gak benar, La.  Jauh di dalam lubuk hatiku aku merindukan kebahagiaan yang bisa kuterima dengan kehadiran mama dan papa di sepanjang perjalanan hidupku.  Uang memang memberikan kebahagiaan.  Tapi sementara,” kata Jane.

“Jadi selama ini kamu gak bahagia, Jane?  Padahal boleh dibilang kamu jauh lebih kaya daripada aku.  Papamu seorang Presiden Direktur, Jane.  Sementara papaku adalah wakil dari papamu.  Tapi kamu gak bahagia?” tanya Angela.  Jane menggeleng tegas.

Angela melajukan mobil sport merahnya dengan kecepatan rendah ketika memasuki area perumahan Jane.  Sahabatnya tidak tinggal di apartemen atau perumahan cluster layaknya pasangan muda kekinian.  Ia tinggal di sebuah kompleks perumahan biasa di mana tukang sayur dan tukang baso bebas berkeliaran.

Dan disitulah sahabatnya tinggal.  Di jalan Kemuning nomor 12.  Dari jauh dilihatnya sahabatnya.  Astaga!  Itukah Jane yang ia kenal selama ini?  Bagaimana mungkin ia berpakaian seperti itu?  Angela mulai sesak napas.  Dugaannya benar.  Mario tidak akan pernah bisa membahagiakan sahabatnya dengan membelikannya barang-barang yang bagus dan mahal.  Arghhh…

Jane melambai ketika mobil Angela mendekat.  Senyum merekah di wajah Jane yang kecoklatan.  Dulu kulit Jane putih mulus.  Sekarang?

“Hai, Lala.  Kok gak kabarin aku kalau mau datang?  Kalau tahu kamu datang aku bisa masak sesuatu buat kamu,” kata Jane sambil merogoh kantong celananya yang dapat dipastikan tidak bermerek dan memberikan selembar uang dua puluh ribuan kepada tukang sayur.

“Masak?  Kamu memang bisa masak, Jane?” tanya Angela terkejut.  Setahu Angela, Jane tidak pernah ‘masuk dapur’ alias masak.  Di rumah mewahnya orang tuanya mempekerjakan tukang masak.  Angela yakin Jane juga tidak tahu cara merebus air.

“Mario mengajariku memasak.  Ternyata seru loh.  Yuk ah, masuk,” ajak Jane.

Angela melihat motor berwarna kuning di garasi rumah.  Ia mengerti sekarang alasan kulit Jane berwarna kecoklatan sekarang.

“Mana mobilmu, Jane?” tanya Angela.

“Mobil kami maksudmu?  Lagi dibawa ke bengkel oleh Mario.  Biasa suka ngadat.  Sebentar lagi Mario pulang.  Aku mau masak dulu ya.  Kamu boleh kok bantu aku memasak,” kata Jane sambil tertawa.  Ia terlihat begitu bahagia.  Tanpa beban dan bebas.  Rumah mungil tempat sahabatnya tinggal itu rapi dan bersih.  Tidak ada perabotan yang mewah.  Hanya piano yang terpaksa diboyong Jane ke rumah mungilnya itu karena ia tidak bisa hidup tanpa benda itu.  Dan hanya itulah satu-satunya barang mewah di rumah itu.

Angela mengikuti Jane ke dapur.  Tidak ada kitchen set mewah.  Semuanya serba sederhana.  Kulkasnya saja hanya satu pintu.  Tetapi Jane tidak peduli.  Ia kelihatan begitu menikmati hidupnya yang sederhana.  Angela jadi penasaran.  Ia ingin mencari tahu apa yang membuat Jane begitu bahagia.

Jane mengajari Angela mengupas kulit kentang, mengiris bawang, memotong sayuran dan merebus daging.  Awalnya Angela merasa kagok.  Jarinya hampir teriris pisau.  Ia sudah mau menyerah.  Tapi Jane menyemangatinya.  Tak terasa sudah satu jam mereka di dapur mengolah makanan.  Semangkuk sup selesai dimasak.  Aromanya memenuhi seisi dapur itu.  Ada perasaan hangat mengalir di tubuh Angela.  Ia tidak ingat kapan terakhir mama memasak makanan untuknya.  Dapur di rumahnya selalu terasa dingin karena keluarganya jarang makan di rumah.  Atau tepatnya jarang berkumpul bersama.

“Aku selalu rindu mama memasakkan makanan buatku.  Oleh karena itu aku bertekad untuk memasak sendiri makanan buat anakku nanti,” kata Jane sambil menaburkan bawang goreng di atas sup.

“Senang rasanya kalau anak itu ingat dan menyukai masakan ibunya.”  Jane menerawang.  Mereka berdua terdiam.  Mereka membayangkan betapa hambarnya masa kecil mereka.  Diam-diam Angela mengakui bahwa ia pun sebenarnya tidak bahagia.  Ia memang memiliki segalanya namun ia tidak pernah merasa memiliki keluarganya.  Ia tidak pernah benar-benar mengenal orang tua dan kedua saudara kandungnya.

Suara deru mobil terdengar di luar.  Wajah Jane berubah ceria.  Ia melap tangannya dan cepat-cepat keluar menyambut suami dan mobil modifikasinya.  Angela mengintip dari balik jendela dapur.  Matanya melotot melihat mobil yang dikendarai Mario.  Bukan mobil sport hitam milik Jane tapi mobil keluaran tahun 80-an dengan cat merah muda seperti warna kesukaan Jane dan ditempeli stiker karakter favoritnya.

Jane memeluk tubuh Mario dan mengecupnya.  Mereka berciuman sejenak sebelum masuk ke dalam rumah.  Ada perasaan iri menjalar di hati Angela.  Jane begitu bahagia dengan Mario.  Sementara dirinya?  Dirinya sibuk mencari pacar sesaatnya yang juga hanya bisa memberinya kebahagiaan sesaat.

Mario menyambut Angela dengan hangat.  Ia menyilakan kedua sahabat itu mengobrol sementara dirinya menyiapkan makan siang.

“Kemana mobilmu, Jane?”  Angela memberi tekanan pada kalimat pertanyaannya.

“Aku tahu kau pasti penasaran.”  Jane tersenyum.

“Mobil itu memang milikku tapi bukan milik kami,” ujar Jane.

“Maksudmu?” tanya Angela.

“Mobil sport hitamku kan dibeli oleh papa sedangkan aku ingin memiliki sebuah mobil yang benar-benar dibeli dari hasil usaha kami berdua.  Awalnya papa marah ketika aku mengembalikan mobil itu tapi kemudian ia mengerti.  Bahkan ia sekarang bangga dengan keputusanku.  Kemudian aku dan Mario menabung untuk membeli sebuah mobil.  Aku membuka sebuah toko online yang menjual barang-barang seken bermerek.  Hasilnya lumayan…”

Angela memotong perkataan sahabatnya.  “Apakah kau menjual semua koleksi tas, sepatu, baju bermerekmu, Jane?”

Jane mengangguk ringan.

“Yup.  Uang hasil penjualan koleksi bermerek milikku dan 10% dari gaji Mario kami tabung.  Setelah cukup uang tabungan itu kami pakai untuk membeli mobil yang baru kau lihat tadi dan sebagai modal bisnis onlineku.  Kau tahu Angela, aku bahagia sekali.  Meskipun hidupku sekarang berubah tapi aku bahagia.  Ini kebahagiaan yang aku cari selama ini.  Kebahagiaan itu gak bisa didapat hanya dari uang dan barang-barang mahal.  Bahagia itu sebenarnya sederhana.  Kebersamaan itulah kebahagiaan,” ujar Jane.

“Aku mengerti sekarang, Jane.  Kau bahagia bukan karena banyaknya uang yang kalian miliki.  Tetapi kalian saling memiliki,” kata Angela.  Tiba-tiba senyum Angela mengembang selebar daun jendela yang terbuka di dapur mungil Jane.

“Aku pergi dulu ya, Jane.  Terima kasih sudah menyadarkanku.”  Angela mengecup pipi sahabatnya dan mengucapkan selamat tinggal.

***

Laki-laki itu masih di sana.  Ia masih menanti jawabannya.

Tahun lalu ketika Jane akan menikah, ia memberi sebuah alamat toko bunga kepada Angela.  Ia diminta untuk mengambil pesanan buket bunga yang akan dipakai Jane di acara pernikahannya.  Toko bunga itu kecil.  Pemiliknya adalah seorang laki-laki muda sederhana dengan mimpi besar.  Sejak saat Angela mengambil pesanan Jane, ia kemudian sering memesan bunga dari toko itu.  Alasannya karena harga yang dipatok si pemilik toko bunga sangat reasonable dan bunga-bunga yang dirangkainya sangat cantik.  Sampai suatu ketika laki-laki itu mengutarakan cintanya kepada Angela.  Gadis itu mengangkat tinggi alisnya ketika laki-laki itu menyatakan cintanya.

What? Memang dia siapa berani-berani bilang cinta sama gue, pikir Angela waktu itu.  Meskipun Angela sempat kepikiran gara-gara pernyataan cinta laki-laki itu, ia tetap tidak menggubris hati kecilnya sampai Jane menyadarkannya akan arti kebahagiaan sesungguhnya.

Toko bunga itu sudah mengalami perluasan sejak terakhir kali Angela mengunjunginya beberapa bulan yang lalu.  Tetapi laki-laki itu masih di sana.  Ia masih dengan setia merangkai bunga dengan cinta dan ketulusan.  Ia mendongak ketika melihat mobil sport merah yang sangat dikenalnya diparkir tepat di depan tokonya.

Angela turun dari mobilnya.  Jantungnya berdegup kencang.  Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada laki-laki itu.

“Aku tahu suatu saat kau pasti kembali,” ujar laki-laki itu.  Angela menatap mata teduh milik laki-laki itu.  Seluruh keangkuhan yang dibangunnya selama ini rontok.  Hancur berkeping-keping.  Ia yakin laki-laki ini adalah pelabuhan terakhir hatinya.

Natal tahun itu dilalui Angela dengan sukacita yang tidak terkatakan.  Bukan karena hadiah-hadiah mewah atau makan malam yang mahal di hotel berbintang lima, tetapi dengan kesederhanaan dan kebersamaan dengan orang yang mencintainya dengan tulus.  Angela sudah memilih.  Dan ia bahagia dengan pilihannya, Frans, laki-laki si penjual bunga itu.  Meskipun ia tidak dilimpahi dengan bunga-bunga bank tetapi setiap hari ada sebuket bunga cinta dipersembahkan untuk Angela.  Dan itulah kebahagiaannya.  Ia dicintai dan dihargai.  Bukan dengan materi tetapi dengan cinta, kasih dan ketulusan.

Gaun putih sederhana yang dikenakan Angela membuatnya terlihat cantik di hari pernikahannya.  Ia menggenggam buket bunga yang dirangkai sendiri oleh Frans.  Gereja pun dipenuhi dengan bunga-bunga karya laki-laki itu.  Mungkin Frans tidak menawarkan kemewahan kepada Angela, tetapi ia memberi seluruh hidupnya, kemampuannya dan cintanya untuk gadis itu.  Kini hidup Angela penuh warna dan tidak kosong.  Lubang di hatinya sudah dijejalkan oleh banyak cinta bukan uang.  Dengan cinta yang ia dapat dari Frans, ia yakin ia mampu menjalani kehidupan.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh http://www.cekaja.com dan Nulisbuku.com