Angela panik. Sebentar lagi Natal tapi ia belum memiliki baju dan sepatu baru. Apartemennya pun belum dihias. Rak penyimpanan makanan belum terisi dengan toples-toples berisi kue kering mahal buatan bakery ternama. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh gadis itu. Ia belum pernah mengalami kepanikan menjelang Natal seperti ini. Ia menggerutu. Dan parahnya ia lupa kalau menjelang Natal ini ia tidak memiliki pacar! Astaga! Bagaimana mungkin ia bisa sampai lupa. Biasanya beberapa bulan menjelang Desember ia sudah mulai menebar pesona untuk mendapatkan pacar dari kalangan atas. Aneh…ya memang aneh. Angela hanya membutuhkan pacar yang tajir menjelang Natal. Untuk apa? Tentu saja untuk membelikan hadiah-hadiah bagus dan mengajaknya dinner Malam Natal di hotel berbintang lima. Syukur-syukur bertahan sampai ulang tahunnya. Sebenarnya Angela mampu membeli barang-barang bagus atau hanya sekedar makan malam di hotel berbintang. Tapi…kalau semua itu bisa didapatnya dengan cuma-cuma kenapa tidak.
Buru-buru disambarnya cardigan biru muda bermerek, tote bag keluaran rumah mode terkenal berwarna navy blue dan menyelipkan kakinya di sepatu slip on yang lagi ngetren berwarna merah pemberian Aldo pada Natal tahun lalu. Kalau dipikir-pikir dari sekian banyak pacar Natalnya, Aldo memang yang paling murah hati. Angela sempat berpikir untuk mempertahankannya sampai suatu hari ia memutuskan Aldo bukanlah pilihan yang tepat karena ia menolak memberikan hadiah ulang tahun berupa tas bermerek yang harganya mencapai puluhan juta itu. Padahal seharusnya Aldo tahu dan mengerti bahwa Angela penggila tas bermerek. Ia merasa sakit hati. Sakitnya lebih sakit ketimbang dikhianati.
Setelah memoles wajahnya tipis dengan bedak Angela mengambil kunci mobilnya. Ia ingin mengunjungi sahabatnya, Jane, yang selalu bisa menenangkan hatinya ketika ia panik seperti ini. Jane adalah sahabatnya sejak lama. Sepuluh tahun? Lebih. Lima belas tahun? Lebih. Dua puluh tahun? Ya, dua puluh tahun. Mereka bersahabat sejak usia mereka baru enam tahun.
Sudah lama Angela tidak bertemu Jane sejak sahabatnya itu menikah tahun lalu. Ia menikah dengan seorang pemuda yang tidak akan pernah masuk hitungan Angela. Tidak akan pernah. Bayangkan, pemuda itu hanyalah seorang staf pemasaran produk rumah tangga yang gajinya belum tentu cukup untuk membeli sebuah tas bermerek termurah sekalipun. Angela sempat mencuci otak Jane. Ia cemas akan kehidupan Jane di masa yang akan datang kalau menikah dengan Mario sebab Angela tahu pasti selera Jane. Mereka berdua, Jane dan Angela, dibesarkan di keluarga berada yang berlimpah materi. Mereka selalu mengenakan barang-barang bermerek. Tidak pernah tidak. Jadi, sewaktu Jane mengenalkan Mario kepadanya, Angela hampir pingsan. Well, wajah Mario memang ganteng tapi penampilannya sangat biasa. Dari atas sampai bawah.
“Aku mencintai Mario karena kesederhanaannya, La. Dia juga sopan. Mama dan papa gak masalah kok aku menikah dengannya,” ujar Jane ketika Angela protes akan pilihan sahabatnya itu.
“Dear, mama dan papamu memang gak keberatan kamu menikah dengan Mario. Tapi aku keberatan! Aku khawatir dia gak bisa membahagiakanmu, Jane,” kata Angela. Matanya sudah berkaca-kaca.
“La, selama ini aku merasa kita sudah salah jalan. Kita pikir uang bisa memberikan kebahagiaan. Ternyata itu gak benar, La. Jauh di dalam lubuk hatiku aku merindukan kebahagiaan yang bisa kuterima dengan kehadiran mama dan papa di sepanjang perjalanan hidupku. Uang memang memberikan kebahagiaan. Tapi sementara,” kata Jane.
“Jadi selama ini kamu gak bahagia, Jane? Padahal boleh dibilang kamu jauh lebih kaya daripada aku. Papamu seorang Presiden Direktur, Jane. Sementara papaku adalah wakil dari papamu. Tapi kamu gak bahagia?” tanya Angela. Jane menggeleng tegas.
Angela melajukan mobil sport merahnya dengan kecepatan rendah ketika memasuki area perumahan Jane. Sahabatnya tidak tinggal di apartemen atau perumahan cluster layaknya pasangan muda kekinian. Ia tinggal di sebuah kompleks perumahan biasa di mana tukang sayur dan tukang baso bebas berkeliaran.
Dan disitulah sahabatnya tinggal. Di jalan Kemuning nomor 12. Dari jauh dilihatnya sahabatnya. Astaga! Itukah Jane yang ia kenal selama ini? Bagaimana mungkin ia berpakaian seperti itu? Angela mulai sesak napas. Dugaannya benar. Mario tidak akan pernah bisa membahagiakan sahabatnya dengan membelikannya barang-barang yang bagus dan mahal. Arghhh…
Jane melambai ketika mobil Angela mendekat. Senyum merekah di wajah Jane yang kecoklatan. Dulu kulit Jane putih mulus. Sekarang?
“Hai, Lala. Kok gak kabarin aku kalau mau datang? Kalau tahu kamu datang aku bisa masak sesuatu buat kamu,” kata Jane sambil merogoh kantong celananya yang dapat dipastikan tidak bermerek dan memberikan selembar uang dua puluh ribuan kepada tukang sayur.
“Masak? Kamu memang bisa masak, Jane?” tanya Angela terkejut. Setahu Angela, Jane tidak pernah ‘masuk dapur’ alias masak. Di rumah mewahnya orang tuanya mempekerjakan tukang masak. Angela yakin Jane juga tidak tahu cara merebus air.
“Mario mengajariku memasak. Ternyata seru loh. Yuk ah, masuk,” ajak Jane.
Angela melihat motor berwarna kuning di garasi rumah. Ia mengerti sekarang alasan kulit Jane berwarna kecoklatan sekarang.
“Mana mobilmu, Jane?” tanya Angela.
“Mobil kami maksudmu? Lagi dibawa ke bengkel oleh Mario. Biasa suka ngadat. Sebentar lagi Mario pulang. Aku mau masak dulu ya. Kamu boleh kok bantu aku memasak,” kata Jane sambil tertawa. Ia terlihat begitu bahagia. Tanpa beban dan bebas. Rumah mungil tempat sahabatnya tinggal itu rapi dan bersih. Tidak ada perabotan yang mewah. Hanya piano yang terpaksa diboyong Jane ke rumah mungilnya itu karena ia tidak bisa hidup tanpa benda itu. Dan hanya itulah satu-satunya barang mewah di rumah itu.
Angela mengikuti Jane ke dapur. Tidak ada kitchen set mewah. Semuanya serba sederhana. Kulkasnya saja hanya satu pintu. Tetapi Jane tidak peduli. Ia kelihatan begitu menikmati hidupnya yang sederhana. Angela jadi penasaran. Ia ingin mencari tahu apa yang membuat Jane begitu bahagia.
Jane mengajari Angela mengupas kulit kentang, mengiris bawang, memotong sayuran dan merebus daging. Awalnya Angela merasa kagok. Jarinya hampir teriris pisau. Ia sudah mau menyerah. Tapi Jane menyemangatinya. Tak terasa sudah satu jam mereka di dapur mengolah makanan. Semangkuk sup selesai dimasak. Aromanya memenuhi seisi dapur itu. Ada perasaan hangat mengalir di tubuh Angela. Ia tidak ingat kapan terakhir mama memasak makanan untuknya. Dapur di rumahnya selalu terasa dingin karena keluarganya jarang makan di rumah. Atau tepatnya jarang berkumpul bersama.
“Aku selalu rindu mama memasakkan makanan buatku. Oleh karena itu aku bertekad untuk memasak sendiri makanan buat anakku nanti,” kata Jane sambil menaburkan bawang goreng di atas sup.
“Senang rasanya kalau anak itu ingat dan menyukai masakan ibunya.” Jane menerawang. Mereka berdua terdiam. Mereka membayangkan betapa hambarnya masa kecil mereka. Diam-diam Angela mengakui bahwa ia pun sebenarnya tidak bahagia. Ia memang memiliki segalanya namun ia tidak pernah merasa memiliki keluarganya. Ia tidak pernah benar-benar mengenal orang tua dan kedua saudara kandungnya.
Suara deru mobil terdengar di luar. Wajah Jane berubah ceria. Ia melap tangannya dan cepat-cepat keluar menyambut suami dan mobil modifikasinya. Angela mengintip dari balik jendela dapur. Matanya melotot melihat mobil yang dikendarai Mario. Bukan mobil sport hitam milik Jane tapi mobil keluaran tahun 80-an dengan cat merah muda seperti warna kesukaan Jane dan ditempeli stiker karakter favoritnya.
Jane memeluk tubuh Mario dan mengecupnya. Mereka berciuman sejenak sebelum masuk ke dalam rumah. Ada perasaan iri menjalar di hati Angela. Jane begitu bahagia dengan Mario. Sementara dirinya? Dirinya sibuk mencari pacar sesaatnya yang juga hanya bisa memberinya kebahagiaan sesaat.
Mario menyambut Angela dengan hangat. Ia menyilakan kedua sahabat itu mengobrol sementara dirinya menyiapkan makan siang.
“Kemana mobilmu, Jane?” Angela memberi tekanan pada kalimat pertanyaannya.
“Aku tahu kau pasti penasaran.” Jane tersenyum.
“Mobil itu memang milikku tapi bukan milik kami,” ujar Jane.
“Maksudmu?” tanya Angela.
“Mobil sport hitamku kan dibeli oleh papa sedangkan aku ingin memiliki sebuah mobil yang benar-benar dibeli dari hasil usaha kami berdua. Awalnya papa marah ketika aku mengembalikan mobil itu tapi kemudian ia mengerti. Bahkan ia sekarang bangga dengan keputusanku. Kemudian aku dan Mario menabung untuk membeli sebuah mobil. Aku membuka sebuah toko online yang menjual barang-barang seken bermerek. Hasilnya lumayan…”
Angela memotong perkataan sahabatnya. “Apakah kau menjual semua koleksi tas, sepatu, baju bermerekmu, Jane?”
Jane mengangguk ringan.
“Yup. Uang hasil penjualan koleksi bermerek milikku dan 10% dari gaji Mario kami tabung. Setelah cukup uang tabungan itu kami pakai untuk membeli mobil yang baru kau lihat tadi dan sebagai modal bisnis onlineku. Kau tahu Angela, aku bahagia sekali. Meskipun hidupku sekarang berubah tapi aku bahagia. Ini kebahagiaan yang aku cari selama ini. Kebahagiaan itu gak bisa didapat hanya dari uang dan barang-barang mahal. Bahagia itu sebenarnya sederhana. Kebersamaan itulah kebahagiaan,” ujar Jane.
“Aku mengerti sekarang, Jane. Kau bahagia bukan karena banyaknya uang yang kalian miliki. Tetapi kalian saling memiliki,” kata Angela. Tiba-tiba senyum Angela mengembang selebar daun jendela yang terbuka di dapur mungil Jane.
“Aku pergi dulu ya, Jane. Terima kasih sudah menyadarkanku.” Angela mengecup pipi sahabatnya dan mengucapkan selamat tinggal.
***
Laki-laki itu masih di sana. Ia masih menanti jawabannya.
Tahun lalu ketika Jane akan menikah, ia memberi sebuah alamat toko bunga kepada Angela. Ia diminta untuk mengambil pesanan buket bunga yang akan dipakai Jane di acara pernikahannya. Toko bunga itu kecil. Pemiliknya adalah seorang laki-laki muda sederhana dengan mimpi besar. Sejak saat Angela mengambil pesanan Jane, ia kemudian sering memesan bunga dari toko itu. Alasannya karena harga yang dipatok si pemilik toko bunga sangat reasonable dan bunga-bunga yang dirangkainya sangat cantik. Sampai suatu ketika laki-laki itu mengutarakan cintanya kepada Angela. Gadis itu mengangkat tinggi alisnya ketika laki-laki itu menyatakan cintanya.
What? Memang dia siapa berani-berani bilang cinta sama gue, pikir Angela waktu itu. Meskipun Angela sempat kepikiran gara-gara pernyataan cinta laki-laki itu, ia tetap tidak menggubris hati kecilnya sampai Jane menyadarkannya akan arti kebahagiaan sesungguhnya.
Toko bunga itu sudah mengalami perluasan sejak terakhir kali Angela mengunjunginya beberapa bulan yang lalu. Tetapi laki-laki itu masih di sana. Ia masih dengan setia merangkai bunga dengan cinta dan ketulusan. Ia mendongak ketika melihat mobil sport merah yang sangat dikenalnya diparkir tepat di depan tokonya.
Angela turun dari mobilnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada laki-laki itu.
“Aku tahu suatu saat kau pasti kembali,” ujar laki-laki itu. Angela menatap mata teduh milik laki-laki itu. Seluruh keangkuhan yang dibangunnya selama ini rontok. Hancur berkeping-keping. Ia yakin laki-laki ini adalah pelabuhan terakhir hatinya.
Natal tahun itu dilalui Angela dengan sukacita yang tidak terkatakan. Bukan karena hadiah-hadiah mewah atau makan malam yang mahal di hotel berbintang lima, tetapi dengan kesederhanaan dan kebersamaan dengan orang yang mencintainya dengan tulus. Angela sudah memilih. Dan ia bahagia dengan pilihannya, Frans, laki-laki si penjual bunga itu. Meskipun ia tidak dilimpahi dengan bunga-bunga bank tetapi setiap hari ada sebuket bunga cinta dipersembahkan untuk Angela. Dan itulah kebahagiaannya. Ia dicintai dan dihargai. Bukan dengan materi tetapi dengan cinta, kasih dan ketulusan.
Gaun putih sederhana yang dikenakan Angela membuatnya terlihat cantik di hari pernikahannya. Ia menggenggam buket bunga yang dirangkai sendiri oleh Frans. Gereja pun dipenuhi dengan bunga-bunga karya laki-laki itu. Mungkin Frans tidak menawarkan kemewahan kepada Angela, tetapi ia memberi seluruh hidupnya, kemampuannya dan cintanya untuk gadis itu. Kini hidup Angela penuh warna dan tidak kosong. Lubang di hatinya sudah dijejalkan oleh banyak cinta bukan uang. Dengan cinta yang ia dapat dari Frans, ia yakin ia mampu menjalani kehidupan.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh http://www.cekaja.com dan Nulisbuku.com